Giving and Forgiving | YDSF

Giving and Forgiving | YDSF

6 Juni 2020

Kemenangan ‘kompetisi’ ukhrawi sepanjang bulan ramadan baru saja dirayakan dengan Idulfitri, dengan banyak memberi dan memaafkan. Bagaimana spirit giving and forgiving itu juga tercermin dalam manajemen bisnis.

Akibat krisis global 2008, hampir semua negara pertumbuhan ekonominya negatif, tercatat 4 negara bangkrut dan hanya 3 negara ekonominya tumbuh positif: China, India dan Indonesia.

Tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2009, ekonomi Indonesia tumbuh 4,3 persen sedangkan Singapura turun drastis hingga minus 1,3 persen. Hebatnya, setahun kemudian (2010), saat Indonesia tumbuh 5,6 persen, ekonomi Singapura bisa melesat menjadi 14,3 persen, bagaimana bisa?

Ketika penulis ngopi di Solo dengan Mr. Goh (chairman Temasek Foundation) menjelaskan: “Singapura adalah negara kota yang tidak punya SDA (sumber daya alam) apa-apa. Tapi justru dengan ketiadaan SDA di Singapura itu membuat kami merasa selalu dalam kondisi krisis, risau, dan karena itu menimbulkan sikap waspada dan selalu siaga menghadapi masa depan kami.

Perasaan krisis dan tak punya SDA apa-apa ini memaksa kami untuk selalu bekerja efisien, berhemat dan tanggap memberi pelayanan terbaik, sebagai negara yang memang hidup dari menjual jasa (memberi layanan).

Kini tak kurang dari 3000 perusahaan Multi National Corporation (MNC) merasa nyaman menempatkan kantor head-quarter nya di Singapura. Tidak berminat pindah ke Kuala Lumpur apalagi ke Batam, meskipun harga sewa di Singapura terus naik harga dari tahun ke tahun.

Singapura tidak sendirian, atensi dunia pemasaran dan manajemen perusahaan terhadap kualitas layanan sangat mengemuka belakangan ini. Bahkan layanan menjadi cara premium untuk memanjakan pelanggan.

Ketika produk sudah sulit dikomparasikan – karena semuanya sudah mencapai standar kualitas prima – maka banyak perusahaan lalu mengandalkan cara bersaing dengan memberi pelayanan ekstra.

Layanan perbankan menjadi andalan persaingan, ketika interes (bunga bank) atau bagi hasil bank syariah sudah relatif sama dan sulit dikompetisikan. Layanan antar pelbagai makanan dan produk costumer good menjadi andalan ketika kualitas barang sudah standar.

Demikian juga dalam dunia bisnis media, layanan kemudahan internet (just klik) dan media online menjadi tantangan kelangsungan media cetak yang sudah eksis ber abad-abad.

Layanan (services), sering diukur dengan kepuasan pelanggan, terutama dalam kemudahan teknis meng-akses dan membeli suatu barang dan atau jasa. Layanan level ini sudah terasa biasa (umum), karena sudah banyak yang berhasil melakukannya

Pada manajemen modern sudah berusaha untuk selangkah lebih maju, dengan berupaya memberikan layanan yang tidak hanya berupa kemudahan dan kepuasan secara teknis, tetapi sekaligus memberi sentuhan kepuasan emosi dan memberi kesan mendalam bagi pelanggan (emotional marketing).

Memberi pada level ini dikenal tidak hanya memberi materi (barang atau jasa) tetapi kemampuan memberi simpati bahkan empati.

Misalnya, di tengah kesulitan bisnis di sektor riel belakangan ini, banyak perusahaan yang mengalami gagal bayar jatuh temponya.

Memberi empati, dengan memaafkan kesulitan partner bisnis (forgiving), menjadi bagian dari pelayanan signifikan. Memberi empati sering lebih dalam dan menyentuh ketimbang memberi materi atau jasa lainnya, karena bukan semata-mata untuk kepuasan pelanggan tapi untuk mengikat hati dan kesetiaan pelanggan, bahasa lainnya customer loyality.

Pengalaman penulis bisa menjadi contoh, ketika pasar kertas lesu pasca krisis 2008, saya ikut jualan kertas Adiprima sampai ke Semarang tepatnya percetakan Al Quran Toha Putra, kenal baik dengan dirutnya pak Hasan. Meski telah melalui pendekatan premordial, ekstra diskon dan pelbagai layanan pelanggan lainnya, kami tidak mampu menggeser pemasok kertas yang lama PT. Lamandau. Apa pasalnya?

Ternyata Toha Putra merasa punya hutang budi dengan lamandau. Saat krisis 1998, kurs USD naik lima kali lipat, Toha Putra sempat gagal bayar mesin cetaknya yang dibeli dalam USD. Mendapati kesulitan itu, Lamandau berempati dengan memaafkan dan rela kertasnya dibayar mundur, memberi kesempatan kepada Toha Putra untuk menyelesaikan hutang mesinnya dulu ke pabriknya di Jerman. Pemberian empati dan maaf (forgiving) dalam bisnis itu berbuah loyalitas pelanggan yang tak tergantikan. Puluhan tahun Lamandau menjadi pemasok utama Toha Putra yang tak tergantikan. Bagaimana pendapat anda? (Misbahul Huda)

 

Sumber Majalah Al Falah Edisi Agustus 2018

 

Baca juga:

Qadha Puasa Ramadhan vs. Puasa Syawal

KEUTAMAAN BULAN SYAWAL | YDSF

Keutamaan Puasa Syawal

MERAIH KEBERHASILAN PUASA | YDSF

BONUS GAJI ATAU THR MASUK HITUNGAN ZAKAT PENGHASILAN | YDSF

Mengeluarkan Sedekah Dari Bunga Bank | YDSF

JANGAN DIDIK ANAK BERMENTAL PENGEMIS SAAT LEBARAN | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: