Di Brunei, Berbeda Khutbah, Pelanggaran!

Di Brunei, Berbeda Khutbah, Pelanggaran!

16 Februari 2017

Brunei Darussalam dan Indonesia adalah tetangga dekat. Negara dengan penduduk hanya 370 ribu orang ini tertelak di bagian utara Pulau Borneo, masih satu pulau dengan Kalimantan. Dengan bahasa Melayu, negeri bersistem kerajaan ini memiliki peranan penting di dunia. Meskipun secara wilayah tergolong cukup kecil, namun pantas disebut sebagai negara maju. Menurut Dana Moneter Internasional, Brunei memiliki produk domestik bruto per kapita terbesar kelima di dunia. Forbes bahkan menempatkan Brunei sebagai negara terkaya kelima dari 182 negara (Wikipedia.org).

 

Sebelum abad ke-16, Brunei memiliki peranan cukup penting dalam penyebaran Islam di wilayah Kalimantan. Bisa jadi karena hal ini pula antara Brunei dan Indonesia memiliki kemiripan dalam bermazhab, Syafi’i. Bahkan secara konsep akidah yang dipegang sudah termaktub “Melayu Islam Baraja” dengan pedoman Ahlussunnah Wal Jamaah. Begitu kentalnya agama Islam dalam sistem negara di Brunei menjadikan pengelolaan masjid patut disimak karena memiliki corak yang khas.

 

“Di Brunei, semua masjid merupakan milik negara. Pegawainya juga digaji oleh negara layaknya Pegawai Negeri Sipil. Tidak sembarang orang boleh menjadi imam di suatu masjid karena harus memenuhi kriteria tertentu,” tulis Fajar Nur Aly yang bekerja sebagai Islamic Art Advertising di Brunei Darussalam melalui komunikasi berpesanan virtual. Negara dengan luas wilayah 5.756 km atau hampir dua kali lipat luas kota Surabaya ini, memiliki masjid yang dikelola pemerintah.

Masjid 

Bahkan keterlibatan pemerintah sudah dimulai sejak pembangunannya. Maka secara perizinan juga diatur ketat oleh pemerintah. “Bahkan ada sejumlah uang dari masyarakat, juga ada tanah wakaf untuk masjid, tetap harus memakai izin,” tulis Fajar Nur Aly. Hal ini pula yang menjadikan antara satu masjid dengan yang lain tidak ada warna golongan. “Jika ada yang ingin mengadakan kegiatan untuk sebuah golongan, harus mendapat izin dari kementerian agama. Kemudian diberikan ke masjid,” tulis alumni Pondok Modern Darussalam Gontor.

 

mengaji atau hanya belajar agama. Semua difungsikan sama. Hal ini efek dari keteguhan pemerintah sebagai pengelola, sehingga agama Islam yang dikenal di Brunei hanya satu warna saja. “Bahkan isi khutbah shalat Jumat harus seragam. Tidak ada yang berani berbeda, semua sudah diatur oleh kementerian agama. Jika ada yang berbeda, maka ditindak sebagai sebuah pelanggaran besar,” tulis ayah tiga anak ini. Masih menurut Fajar, dengan sistem yang demikian, kegiatan keagamaan benar-benar terpusat di masjid. Di Brunei, tidak ada yang namanya Taman Pendidikan al Quran di rumah-rumah seperti yang ada di Indonesia. Semua sudah tersedia di Masjid. “Anak-anak yang mau mengaji harus pergi ke masjid, atau mengundang ustaz privat di rumah”.

Masjid 

Yang unik menurut Fajar, masjid di Brunei dikelola oleh seorang takmir dengan dua atau tiga orang imam inti yang digaji oleh negara. “Kemungkinan sangat kecil masjid di Brunei kebingungan imam, apalagi sampai tidak ada yang mau mengumandangkan azan. Fasilitas masjid juga cukup baik. Semua memiliki pendingin ruangan,” tulis ahli kaligrafi itu.

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: