AR. Baswedan, Menteri Muda Penerangan Indonesia itu masih dag dig dug. Di dalam pesawat, ia memikirkan berbagai cara agar dapat menyampaikan ‘surat super penting’, berisi pengakuan kedaulatan pertama yang ditandatangani pemerintah Mesir pada Juni 1947.
“Saya tidak peduli Saudara hidup atau mati, yang penting surat itu harus sampai ke Indonesia,” kata pemimpin delegasi Indonesia, Haji Agus Salim.
Pesawat BOAC melesat meninggalkan Kairo, entah ke mana dulu. Yang jelas, Baswedan harus sampai dulu di Singapura sebelum masuk ke Indonesia. Akhirnya dengan tampang kuyu, sampai juga Baswedan di Singapura.
Tak seorang pun menjemput di bandara, sedangkan uang sudah betul-betul menipis dengan kantong yang sudah melompong. Tak ada pelesiran. Tak ada uang saku. Bagaimana dengan uang saku perjalanan? Bahkan, Baswedan, Haji Agus Salim, HM Rasjidi, para tokoh Islam tersebut bahkan ‘dipinjami’ jasa bangsa Arab yang sungguh-sungguh membantu negeri nun jauh di sana.
Sang menteri ini, tak akan sempat jalan-jalan, foto-foto, atau dengan hati sumringah membawa serombongan keluarga dalam perjalanan dinasnya.
Bagaimana ingin bersenang-senang ‘aji mumpung’ di luar negeri? Sedangkan di Indonesia sendiri, berjuta rakyat menanti. Menanti harapan akan negeri berdaulat. Yang diakui negara-negara terhormat, berdiri sejajar, setara dan saling membantu. Negeri berdaulat yang diimpikan sejak lama.
Dan kini, AR. Baswedan membawa surat sangat penting itu, surat pengakuan kedaulatan pertama. Tak ada penyambutan, apalagi ongkos untuk pulang. Semuanya harus merogoh kocek sendiri, walau kantong sudah kosong melompong.
Mr. Oetojo yang saat itu menjadi Sekjen Kemlu RI tidak tahu-menahu tentang kedatangan Baswedan, dan tidak pula menolongnya yang kekurangan uang untuk pulang. Naluri wartawan Baswedan membawanya kembali ‘keluyuran’ di Negeri Singa tersebut.
Inilah para pejuang kita dahulu. Tak ada anggaran negara, namun dengan uang pribadi mereka keluarkan tanpa pamrih. Dan ketika kesungguhan itu telah menancap kuat, akhirnya pertolongan demi pertolongan Allah itu tiba. Karena, kita sudah bersepakat bahwa kemerdekaan adalah “Atas Berkat Rahmat Allah!”
Baswedan harus mencari akal agar bisa pulang ke Indonesia. Akhirnya dia bersua dengan seorang dermawan, Ibrahim Assegaf, yang terkenal di Singapura bersama kawan lamanya, Ali Talib Yamani. Karena simpati akan perjuangan Indonesia, mereka tak berpikir panjang, bahkan segera membantu Baswedan.
Beragam cara diupayakan Ali Talib Yamani agar Baswedan mendapat tiket pesawat ke Jakarta. Berhari-hari, Baswedan terkatung-katung. Karena Belanda urung mengeluarkan visa untuk dirinya. Dengan pelbagai akal, intrik, akhirnya didapatnya tiket keberangkatan 13 Juli 1947.
Nyaris sebulan, Baswedan terkatung-katung di Singapura. Akhirnya pesawat KLM tinggal landas menuju Bandara Kemayoran. Pesawat sempat berputar lama di udara karena bandara sangat padat. Baru saja, Van Mook (Gubernur Jenderal Hindia Belanda) mengultimatum Indonesia.
Tentara Belanda berada di setiap jengkal bandara, berkeliaran ke sana kemari. Bandara tampak bak medan perang, menegangkan! Keringat dingin mengucur deras sekujur tubuh Baswedan, dia hanya bisa berdoa agar diloloskan dari pemeriksaan.
“Saya hanya bisa berdoa kepada Allah, memohon agar dapat lolos dari pemeriksaan. Baru di saat itu saya teringat akan tasbih pemberian Amir Abdul Karim dan doa-doa yang diajarkannya. Jari-jari tangan kanan menggenggam tasbih itu, dan tangan kiri memegang Aktentas catatan penting. Sementara naskah perjanjian masih tetap di dalam sepatu. Aktentas itu masih aktentas lama yang saya bawa ke Kairo, dengan kunci yang juga masih sering macet,” kenang Baswedan.
Dokumen super penting pun dia selipkan di balik kaus kaki sepatunya. Dengan keyakinan, dia melengang melewati pemeriksaan.
“Entah bagaimana, aktentas begitu juga koper saya lolos dari pemeriksaan. Petugas itu sedang seperti buta ketika saya lewat di depannya. Koper dan aktentas langsung saya sambar, untuk kemudian bergagas mencari taksi,” kenangnya.
“Alhamdulillah, aman!” kata Baswedan.
Pagi-pagi buta, 19 Juli 1947, Baswedan terbang ke Yogya bersama PM Amir Sjarifoeddin untuk melaporkan tentang kunjungan delegasi ke Mesir dan hasil-hasil yang dicapai kepada sidang kabinet. Bung Karno geleng-geleng kepala merasa heran sekali bahwa semua dokumen masih tetap utuh dalam sampul yang dilak.
“Bagaimana kok bisa begitu, Saudara Baswedan?” tanya Bung Karno penasaran.
“Untung,” jawabnya singkat.
Tetapi lamunan Baswedan mengatakan segalanya. Ingatannya melayang ke sebuah rumah kecil di luar Kairo. Kepada seorang pahlawan kemerdekaan di pengasingan yang namanya Amir Abdul Karim yang memberinya tasbih.
Dengan komat-kamit menggenggam tasbih, surat diselipkan dalam kaus kaki, Baswedan selamat dari pemeriksaan. Inilah pengorbanan pendahulu kita, harta dan jiwa!
Naskah: Rizki Lesus
Sumber: Majalah Al Falah Edisi Oktober 2017
Editor: Ayu SM
Baca Juga:
Kisah Perjalanan Hidup Pahlawan Nasional, AR. Baswedan | YDSF
Kelas Rusak, Siswa SD & MI Cokroaminoto Bergantian Bersekolah
Biografi Abdul Wahid Hasyim, Sang Menteri Agama RI
SMP Al Falah Deltasari Talk Show Bersama Syekh Rasyid | YDSF
Kisah Ketua DPR pertama RI, Kasman Singodimejo | YDSF
6 Prinsip untuk Menyiapkan Anak Sebagai Pejuang Kehidupan | YDSF
Konsep Patriotisme dalam Islam | YDSF