Tidak sedikit,
saat telah menjadi seorang ayah angkat terdapat keegoisan pribadi yang ingin
secara multak merasa memiliki seutuhnya urusan sang anak. Termasuk, soal
menjadi wali nikah untuk anak perempuan. Banyak perdebatan tentang wali nikah
dengan ayah angkat dalam Islam. Terlebih, seorang perempuan dinasabkan langsung
kepada ayah kandungnya.
Salah satu ujian
saat telah memasuki usia baligh adalah menahan syahwat (hawa nafsu)
kepada lawan jenis. Hal ini pun menjadi salah satu fitnah jelang akhir zaman. Allah
Swt. berfirman dalam surah An Nur ayat 30-31 yang berisikan tentang perintah kepada
laki-laki dan perempuan untuk menahan pandangan dan kehormatannya.
Imam Al Ghazali
dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin telah memberikan beberapa tips untuk melemahkan
syahwat yaitu:
1.
Memutuskan keterikatan
Berusaha untuk mengurangi hingga tidak terhubung sama sekali dengan sesuatu
atau orang yang membuat syahwat selalu terpancing.
2.
Memadamkan api
Maksudnya adalah meredam hasrat dalam syahwat dengan cara menjaga pandangan
dari hal-hal tercela, menjaga telinga dari ucapan-ucapan kotor, menjaga langkah
kaki dari tempat-tempat yang tidak pantas, dan menjaga pikiran dari
bacaan-bacaan yang tidak bermanfaat.
3.
Mencari jalan yang halal
Menjaga
diri dengan syariat yang kuat. Dapat dimulai dengan memperdalam ilmu agama hingga
mampu mempraktikkannya.
Dalam hal syahwat
terhadap lawan jenis, bila cara-cara lain telah ditempuh maka solusi berikutnya
adalah dengan menikah. Namun, tentu solusi ini bukan bermaksud untuk
menjatuhkan atau meremehkan martabat sebuah pernikahan yang sakral. Melainkan,
demi saling menjaga diri dan kehormatan agar tidak berujung zina dan datangnya
murka Allah Swt.
Allah Swt. berfirman
dalam surah An-Nur ayat 31, yang artinya:
“Dan nikahkanlah
orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang
layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika
mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”
Wali Nikah dalam Islam
Dari jalur Aisyah
r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada pernikahan kecuali dengan seorang
wali dan dua orang saksi. Suatu pernikahan yang selain itu (tidak adanya
mereka) maka nikahnya batil. Apabila terjadi perselisihan di antara mereka maka
penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Ibnu Hibban
dalam kitab shahihnya)
Setelah ditelusur
oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, beliau memaparkan dalam ‘Shahih Fiqh
Sunnah, 3: 149’ bahwa hadits ini munqothi’ (terputus) hanya sampai di bawah
Rasulullah saw. Namun, para ulama, tabi’in, dan seterusnya tetap
mengamalkannya. Karena melalui hadits inilah yang membedakan antara nikah
dengan hal lain yang bersifat main-main. Tidak ada selisih pendapat dalam hal
ini.
Dalam hadits lain
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, dan Imam Tirmidzi, disebutkan pula
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak sah nikah tanpa wali.”
Baca juga:
GALAU MENENTUKAN JODOH, PILIHAN ORANG TUA VS. SENDIRI | YDSF
Perjuangan Bunda Yatim Demi Dapatkan Pendidikan Anaknya yang Berkebutuhan Khusus | YDSF
Untuk dapat
menjadi wali dan saksi nikah, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: Islam, baligh,
berakal, merdeka, laki-laki, dan ‘adel (bukan orang yang fasik).
Sedangkan, wali nikah sesuai aturan dalam Islam mengikuti garis ashobah
(keturunan) meliputi ayah, kakek (ayah dari ayah), saudara laki-laki kandung,
saudara laki-laki seayah, anak dari saudara laki-laki kandung (keponakan), anak
dari saudara laki-laki seayah (keponakan), paman (saudara ayah), dan anak dari
paman (sepupu). Hal ini juga telah tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Kedudukan Ayah Angkat Menjadi
Wali Nikah dalam Islam
Lalu, bagaimana
kedudukan ayah angkat yang ingin menjadi wali nikah dalam aturan Islam?
Dalam Islam, budaya
adopsi itu bukanlah sebuah tuntunan. Utamanya, bila niatnya atau suatu saat terjadi
penghapusan nasab dari si anak, jelas haram hukumnya. Namun, bila niatnya ingin
membantu meringankan kehidupa mereka, diperbolehkan. Dengan catatan, saat anak
angkat telah baligh tetap harus menjaga auratnya dari orang tua angkatnya.
Dalam surah Al
Ahzab ayat 4-6, Allah Swt. berfirman:
“... Dia tidak
menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu
hanyalah perkataan di mulutmu saja. Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Orang-orang yang mempunyai
hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab
Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu
hendak berbuat baikkepada saudara-saudaramu (seagama). Demikianlah telah
tertulis dalam Kitab (Allah).”
Dengan demikian,
ayah angkat bukan termasuk wali, kecuali kalau ayah angkat tersebut masih
memiliki nasab dari wali-wali nikah yang telah disebutkan tersebut. Seperti,
seorang anak puteri diadopsi oleh pamannya. Maka, pamannya dapat menjadi wali
nikah dengan ketentuan ayah dari yang bersangkutan telah meninggal atau ayahnya
memberikan hak wakil (taukil) wali kepada si paman selaku ayah angkat. (Dewan
Syariah YDSF)
Namun, bila ayah
kandung masih hidup dan memiliki kemampuan sebagai wali nikah tanpa ada niatan
taukil, maka hendaknya mendahulukan kedudukan beliau. Ayah angkat tetap tidak
sah menjadi wali nikah. Bilapun kondisi ayah kandung tidak diketahui, dianjurkan
memakai wali hakim sebagaimana tuntunan dalam hadits Rasulullah yang telah
disebutkan sebelumnya. (berbagai sumber)
Raih Jariyah dengan Wakaf:
Artikel Terkait:
Cara Mencari Berkah (Tabarruk) Allah Sesuai Syariat Islam | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Wakaf Terbaik untuk Orang Tua Tercinta | YDSF