Tahun sepuluh
kenabian (619 M) adalah momen pilu Rasulullah saw. yang dalam istilah ahli sirah
disebut dengan “Amu al-Huzni” (Tahun Kesedihan). Pada tahun ini, Nabi
kehilangan istri tercintanya: Khadijah binti Khuwailid. Kemudian, pascasatu bulan
lebih lima hari, disusul wafatnya paman tersayang, Abu Thalib.
Martin Lings atau
Abu Bakar Sirajuddin (2015: 176) menggambarkan figur Khadijah sebagai seorang
istri sekaligus sahabat, penasihat, dan ibu bagi anak-anaknya. Ibnu Hisyam dalam
“al-Sīrah al-Nabawiyah” (1955: I/416) menggambarkan sosok Abu Thalib sebagai penyokong
atau penopang dakwah serta menjadi benteng dari gangguan kaumnya. Siapapun orangnya,
jika ditinggal orang tercinta, pasti akan berduka cita. Demikian juga dengan
Rasulullah saw.
Peristiwa
memilukan itu dinamakan sebagai tahun kesedihan atau duka cita bukan semata
karena wafatnya dua orang tercinta Nabi. Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan Būthi
dalam “Fiqh al-Sīrah al-Nabawiyah ma’a Mūjaz li-Tārīkh al-Khilāfah al-Rāsyidah”
(1426: 97) menyebutkan alasan penamaannya.
Sepeninggal
pamannya banyak sekali pintu dakwah yang tertutup sehingga misi nabi dalam menyebarkan
dakwah kian terhambat. Itulah sebenarnya kesedihan yang mendominasi sanubarinya.
Terlebih, yang sangat menyedihkan, paman yang selama ini berkontribusi besar
dalam dakwah, ternyata meninggal dalam kondisi kekufuran.
Kematian kedua orang
penting tersebut pada faktanya memang membuat rintangan dakwah semakin berat.
Di sisi lain, orang kafir Qurays merasa di atas angin dan dengan leluasa mengintimidasi
dan semakin bertindak sewenang-wenang kepada Rasulullah saw. beserta para
sahabatnya. Sampai-sampai Nabi pernah berujar bahwa gangguan yang ditimpakan kepada
beliau oleh orang kafir Qurays jauh lebih parah dan berlipat ganda sejak
wafatnya Abu Thalib.
Pada saat-saat
sulit itu, beliau pernah dilempar pasir, dicaci maki, dilempar kotoran hewan
saat shalat dan berbagai perlakuan buruk lainnya. Apalagi sahabat-sahabat lain
yang lemah dan tidak memiliki akar kekeluargaan kuat yang bisa melindungi
mereka.
Apakah beliau
surut semangatnya dengan ujian bertubi-tubi itu? Tidak! Duka cita itu tak
membuatnya kehilangan semangat dan akal sehat. Nabi bersama para sahabatnya menghadapinya
dengan penuh ketabahan dan kesabaran yang luar biasa.
Bukankah dalam Al-Qur’an
disebutkan bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar? (QS. Al-Baqarah [2]:
153) Dengan ketabahan dan kesabaran pula kemenangan besar bisa diraih. Jalut
yang raksasa misalnya, bisa dikalahkan oleh tentara Thalut dan Daud. Itu tidak
lain –setelah karunia Allah—adalah berkat kesabaran dan keteguhan mereka dalam
menghadapi ujian meskipun secara nominal jumlah mereka terbilang kecil (QS. Al-Baqarah
[2]: 249). Pada kondisi pelik ini nilai kesabaran sangat ditanamkan dan
ditekankan oleh Rasulullah saw. kepada para sahabatnya.
Selain itu, tahun
duka cita ini juga memberikan ruang kepada Nabi dan para sahabatnya untuk menginsafi
bahwa satu-satunya harapan yang bisa diandalkan hanya Allah sebagai Tuhan Yang
Maha Penolong dan Maha Memberi Kemudahan. Karenanya, bergantunglah kepada-Nya,
jangan sekali-kali bergantung kepada manusia.
Baca juga: POLA PENDIDIKAN NAJMUDDIN AYYUB, AYAH SANG KSATRIA SHALAHUDDIN AL-AYYUBI | YDSF
Coba bayangkan
–meminjam analogi Syekh Būthi-- jika Khadijah dan Abu Thalib ditakdirkan tetap
hidup hingga kejayaan dakwah Islam di Madinah, niscaya akan ada yang
bersepekulasi bahwa keberhasilan dakwah beliau tak lepas dari tangan dingin dan
kepiawaian sang paman dalam melindunginya serta ketangguhan sang isteri sebagai
sandaran psikisnya. Dengan wafatnya mereka berdua, syubhat (kecurigaan atau
keraguan) ini hilang seketika.
Oleh karena itu,
ketika dakwah di Makkah sudah mulai sempit bahkan buntu, beliau mencari
alternatif baru yang bisa memberi ruang gerak yang lebih leluasa bagi
keberlangsungan dakwah. Dipilihlah Tha’if sebagai lahan dakwah baru. Dengan
hati mantap dan keyakinan kuat, akhirnya bersama Zaid bin Haritsah –anak
angkatnya-- beliau berdakwah ke sana.
Betapa pun usaha
dan upaya sudah dikerahkan, namun harapan memang tak selalu sesuai kenyataan. Beliau
bukan hanya ditolak, tapi dilempari batu. Lagi-lagi, bersamaan dengan derasnya
cobaan dan ujian, beliau bisa mengontrol kesedihan. Beliau sangat yakin bahwa
bersama kesulitan, pasti Allah menyediakan kemudahan (QS. Asy-Syarh [94]:
5-6”).
Ada istilah
menarik dalam bahasa Arab yang menggambarkan kondisi ini: “Innal-minhata
ba’dalmihnah.” Maksudnya, karunia Allah itu diberikan setelah sukses dalam
menjalani berbagai ujian dan cobaan. Orang tidak akan selamanya susah, pasti
ada masa di mana dia bahagia. Buktinya, setelah ditolak di Tha`if, di daerah
bernama Nikhlah ada kaum jin yang menerima dakwah Nabi. Lebih dari itu, Nabi
dihibur dengan perjalanan isrā dan mi’rāj yang membuat kesedihan, kesulitan,
duka lara seakan hilang seketika.
Apa yang dialami
Nabi pada tahun kesedihan (Āmu al-Huzni) paling tidak memberikan banyak pelajaran
penting dan mengesankan. Pertama, bergantunglah hanya kepada Allah, bukan
kepada manusia karena Allah adalah sebaik-baik penolong. Kedua, sabar dan tabah
adalah sebaik-baik cara untuk mengatasi ujian dan cobaan.
Ketiga, sesulit
apapun, jangan sampai kehilangan harapan kepada Allah. Keempat, sedih ketika kehilangan
orang tersayang adalah wajar, namun kesedihan sejati adalah ketika kepentingan
dakwah kepada Allah itu dihambat. Kelima, bersama kesulitan pasti tersedia
kemudahan. Karenanya, tidak perlu berputus asa dengan keadaan, sesulit apapun
itu.
Sumber
Majalah Al Falah Edisi Desember 2018
Raih Jariyah dengan Wakaf:
Artikel Terkait:
Itaewon, Masjid Pertama di Korea Selatan | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
Belajar Sabar dari Kisah Nabi Ayyub as. | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Wakaf Terbaik untuk Orang Tua Tercinta | YDSF