Bekerja Sebagai Wujud Ibadah | YDSF

Bekerja Sebagai Wujud Ibadah | YDSF

18 Januari 2024

Bekerja bukanlah hanya sekedar untuk mendapatkan penghasilan saja. Bagi umat Islam, bekerja dapat dijadikan sebagai wujud ibadah kepada Allah Swt. Dengan begitu, nilai bekerja tak hanya sebatas duniawi saja melainkan juga ladang untuk meraih pahala.

Allah melarang hamba-Nya bermalas-malasan. Islam menganjurkan umatnya beraktivitas menghasilkan karya. Sehingga, dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitar.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah mencium tangan seorang laki-laki yang kasar akibat bekerja keras. Rasulullah juga mengatakan bahwa tangan laki-laki itu tidak akan tersentuh api neraka. Begitu mulianya Islam menempatkan posisi manusia yang bekerja dengan sungguh-sungguh.

Begitu pula dalam Surat Asy-Syarh Ayat 7-8, yang artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmu berharaplah.

Allah Swt. juga berfirman dalam At- Taubah ayat 105, sebagai berikut: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Dari kedua ayat tersebut,manusia diperintahkan untuk bekerja. Juga dijelaskan bahwa seyogianya bila mengerjakannya sesuatu, selalu dengan sebaik-baiknya dan sepenuh hati. Ini berarti, bukan ‘ala kadarnya’. Sebaliknya, penuh dengan keseriusan dan kesungguhan. Bila telah selesai mengerjakannya, bisa dilanjutkan dengan mengerjakan aktivitas maupun pekerjaan lainnya. Begitu terus dan berulang setiap hari.

Baca juga: Membuat Nafkah Menjadi Berkah | YDSF

Betapapun, Allah telah mengatur rezeki dari tiap-tiap hamba-Nya. Allah juga mengetahui setiap pekerjaan yang dilakukan hamba-Nya. Meskipun demikian, manusia juga perlu selalu berhati-hati, karena kelak juga akan mempertanggungjawabkan atas apa yang telah dikerjakan selama di dunia.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. juga bersabda: “Tidaklah sekali-kali seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabiyullah Daud juga makan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (HR. Bukhari).

Quiet Quitting vs Hustle Culture

Beberapa waktu lalu, warganet ramai membahas istilah quiet quitting. Quiet quitting mengacu pada sikap karyawan/pekerja yang melakukan pekerjaan secukupnya. Mereka enggan bekerja ekstra. Dengan kata lain, 'sesuai argo'. Ada pula yang beralasan demi menjaga kesehatan mental dan mengurangi stres, maka quiet quitting dianggap pas dilakukan.

Direktur Cartenz HRD Doddy Faisal Humaini mengingatkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan segala sesuatu secara seimbang. Baik untuk beribadah, bekerja, beristirahat, dan berinteraksi dengan keluarga.

“Intinya kita diperintah untuk melakukan pekerjaan yang terbaik sepanjang tetap memperhatikan dan menunaikan kewajiban kita sebagai hamba-Nya,” kata trainer dan konsultan pengembangan sumber daya manusia ini.

Kondisi ini berkebalikan dengan hustle culture, yang mendorong seseorang untuk bekerja tanpa henti kapan pun dan di mana pun. Bila dilakukan terus-menerus, justru dapat memicu produktivitas yang tidak sehat atau toxic productivity.

Baca juga: Berbicara Etos Kerja Dalam Islam | YDSF

Padahal, kenyataannya, situasi dan kondisi dunia kerja cukup fluktuatif. Ada saatnya ritme kerja berjalan pelan. Ada pula saat-saat super sibuk. Sehingga, antara hustle culture dan quiet quitting dapat dikombinasikan. Kita dapat mengaplikasikan keduanya sesuai keperluan.

Tidak dimungkiri bila ada saatnya kita sangat disibukkan berbagai tugas. Ada kalanya, kita dituntut menjalani peran sehari-hari yang sibuk, baik sebagai seorang hamba Allah, sebagai diri pribadi, maupun sebagai karyawan. Apalagi bila tugas tersebut hampir mencapai tenggat waktu yang ditentukan. Namun, kita tetap harus berusaha menjalankannya dengan baik dan cerdas merampungkannya.

Perlu diingat, lanjut Doddy, bahwa peran utama kita sebagai manusia adalah sebagai hamba Allah. Untuk itu sebagai hamba Allah wajib melaksanakan apa yang diperintah Allah dan meninggalkan apa yang dilarang Allah. Apapun peran kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai karyawan, termasuk sebagai pimpinan, orang tua, suami, istri dan sebagainya, harus dilaksanakan dalam koridor beribadah kepada Allah.

“Insya Allah dengan demikian kita akan memiliki prioritas atau derajat kepentingan dalam kehidupan kita,” tegas pendiri Lentera Camp Trawas ini.

 

Sumber: Majalah Al Falah Edisi Desember 2022

 

Mudah Tunaikan Zakat Penghasilan:


 

Artikel Terkait:

Zakat Penghasilan Suami-Istri Bekerja | YDSF
Rela Lepas Hijab untuk Pekerjaan dalam Hukum Islam | YDSF
Etos Kerja Dalam Islam | YDSF
Amalan Ibadah Pembuka Pintu Rezeki | YDSF
Empat Cara Menjemput Rezeki | YDSF
Doa Memohon Rezeki yang Berkah dan Umur Panjang | YDSF
4 Jalan Rezeki Dalam Al-Qur'an | YDSF
Definisi Rezeki Berkah dalam Islam | YDSF

Tags: bekerja, bekerja dalam islam, bekerja sebagai wujud ibadah, bekerja dan ibadah, ibadah islam, bekerja wujud ibadah, bekerja sebagai ibadah

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: