Bekerja bukanlah hanya
sekedar untuk mendapatkan penghasilan saja. Bagi umat Islam, bekerja dapat
dijadikan sebagai wujud ibadah kepada Allah Swt. Dengan begitu, nilai bekerja tak
hanya sebatas duniawi saja melainkan juga ladang untuk meraih pahala.
Allah melarang
hamba-Nya bermalas-malasan. Islam menganjurkan umatnya beraktivitas
menghasilkan karya. Sehingga, dapat memberikan manfaat bagi diri sendiri,
keluarga, dan masyarakat sekitar.
Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah mencium tangan seorang
laki-laki yang kasar akibat bekerja keras. Rasulullah juga mengatakan bahwa tangan
laki-laki itu tidak akan tersentuh api neraka. Begitu mulianya Islam
menempatkan posisi manusia yang bekerja dengan sungguh-sungguh.
Begitu pula dalam
Surat Asy-Syarh Ayat 7-8, yang artinya: “Maka apabila kamu telah selesai
(dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan
hanya kepada Tuhanmu berharaplah.”
Allah Swt. juga
berfirman dalam At- Taubah ayat 105, sebagai berikut: “Bekerjalah kamu, maka
Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan
kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Dari kedua ayat
tersebut,manusia diperintahkan untuk bekerja. Juga dijelaskan bahwa seyogianya
bila mengerjakannya sesuatu, selalu dengan sebaik-baiknya dan sepenuh hati. Ini
berarti, bukan ‘ala kadarnya’. Sebaliknya, penuh dengan keseriusan dan
kesungguhan. Bila telah selesai mengerjakannya, bisa dilanjutkan dengan mengerjakan
aktivitas maupun pekerjaan lainnya. Begitu terus dan berulang setiap hari.
Baca juga: Membuat Nafkah Menjadi Berkah | YDSF
Betapapun, Allah
telah mengatur rezeki dari tiap-tiap hamba-Nya. Allah juga mengetahui setiap
pekerjaan yang dilakukan hamba-Nya. Meskipun demikian, manusia juga perlu
selalu berhati-hati, karena kelak juga akan mempertanggungjawabkan atas apa
yang telah dikerjakan selama di dunia.
Dalam sebuah
hadits, Rasulullah saw. juga bersabda: “Tidaklah sekali-kali seseorang makan
makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan
sesungguhnya Nabiyullah Daud juga makan dari hasil kerja tangannya sendiri.”
(HR. Bukhari).
Quiet Quitting vs Hustle Culture
Beberapa waktu
lalu, warganet ramai membahas istilah quiet quitting. Quiet quitting
mengacu pada sikap karyawan/pekerja yang melakukan pekerjaan secukupnya. Mereka
enggan bekerja ekstra. Dengan kata lain, 'sesuai argo'. Ada pula yang beralasan
demi menjaga kesehatan mental dan mengurangi stres, maka quiet quitting dianggap
pas dilakukan.
Direktur Cartenz
HRD Doddy Faisal Humaini mengingatkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk
melakukan segala sesuatu secara seimbang. Baik untuk beribadah, bekerja,
beristirahat, dan berinteraksi dengan keluarga.
“Intinya kita
diperintah untuk melakukan pekerjaan yang terbaik sepanjang tetap memperhatikan
dan menunaikan kewajiban kita sebagai hamba-Nya,” kata trainer dan konsultan
pengembangan sumber daya manusia ini.
Kondisi ini
berkebalikan dengan hustle culture, yang mendorong seseorang untuk bekerja
tanpa henti kapan pun dan di mana pun. Bila dilakukan terus-menerus, justru dapat
memicu produktivitas yang tidak sehat atau toxic productivity.
Baca juga: Berbicara Etos Kerja Dalam Islam | YDSF
Padahal,
kenyataannya, situasi dan kondisi dunia kerja cukup fluktuatif. Ada saatnya ritme
kerja berjalan pelan. Ada pula saat-saat super sibuk. Sehingga, antara hustle
culture dan quiet quitting dapat dikombinasikan. Kita dapat
mengaplikasikan keduanya sesuai keperluan.
Tidak dimungkiri
bila ada saatnya kita sangat disibukkan berbagai tugas. Ada kalanya, kita
dituntut menjalani peran sehari-hari yang sibuk, baik sebagai seorang hamba
Allah, sebagai diri pribadi, maupun sebagai karyawan. Apalagi bila tugas tersebut
hampir mencapai tenggat waktu yang ditentukan. Namun, kita tetap harus berusaha
menjalankannya dengan baik dan cerdas merampungkannya.
Perlu diingat,
lanjut Doddy, bahwa peran utama kita sebagai manusia adalah sebagai hamba
Allah. Untuk itu sebagai hamba Allah wajib melaksanakan apa yang diperintah Allah
dan meninggalkan apa yang dilarang Allah. Apapun peran kita, baik sebagai pribadi
maupun sebagai karyawan, termasuk sebagai pimpinan, orang tua, suami, istri dan
sebagainya, harus dilaksanakan dalam koridor beribadah kepada Allah.
“Insya Allah
dengan demikian kita akan memiliki prioritas atau derajat kepentingan dalam
kehidupan kita,” tegas pendiri Lentera Camp Trawas ini.
Sumber: Majalah Al Falah Edisi Desember 2022
Mudah Tunaikan Zakat Penghasilan:
Artikel Terkait:
Zakat Penghasilan Suami-Istri Bekerja | YDSF
Rela Lepas Hijab untuk Pekerjaan dalam Hukum Islam | YDSF
Etos Kerja Dalam Islam | YDSF
Amalan Ibadah Pembuka Pintu Rezeki | YDSF
Empat Cara Menjemput Rezeki | YDSF
Doa Memohon Rezeki yang Berkah dan Umur Panjang | YDSF
4 Jalan Rezeki Dalam Al-Qur'an | YDSF
Definisi Rezeki Berkah dalam Islam | YDSF