Bagaimana Cara Membedakan Bid’ah atau Bukan?

Bagaimana Cara Membedakan Bid’ah atau Bukan?

13 Desember 2016

Seringkali kita mendengar istilah bid'ah. Namun, sudah mengerti dengan betulkah kita tentang hal tersebut?

Bid'ah diambil dari kata bida' yang artinya mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Dalam konteks Islam, bid'ah diartikan sebagai mengadakan sesuatu terkait dengan agama tanpa ada contoh atau landasan hadits dari Rasulullah.

Rasulullah Saw,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).

Mari sejenak kita mempelajari kembali tentang bid'ah melalui tanya jawab berikut.

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ustadz, saya mau bertanya, belakangan ini marak sekali perbincangan masalah bid'ah. Dengan stetemen bid'ah seakan-akan umat Islam di indonesia ini terpecah belah, bahkan saling mencaci maki ketika berbeda pendapat. Ketika kegiatan tahlilan, zikir bersama, membaca ushalli dalam shalat sebelum takbiratul ikhram, maulidan dengan membaca Diba', Barzanji, dan sejenisnya itu dianggap bid'ah. Alasannya karena tidak ada contoh dari Rasulullah. Kemudian bagi yang melakukan tersebut memahaminya karena itu termasuk ibadah ghairu mahdhah sehinga hukumnya boleh bahkan dapat pahala.


Pertanyaan saya :
1. Bagaimana cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ibadah ghairu mahdhah? Sehingga kita lebih jeli dalam memilah amalan ibadah agar tidak terjerumus kepada hal-hal bid'ah.
2. Bagaimana menjelaskan masalah ushul dengan furu'? Maulidan, tahlilan, dsb, apakah itu masuk wilayah furu'? Atau ketika bacaan iftitah itu banyak contohnya, sehingga umat Islam bisa memilih salah satu sesuai yang diinginkan, apakah ini juga termasuk furu'?
Terimakasih atas jawaban dan penjelasannya ustadz.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Janur Sandi Kuncoro


Jawaban:

Saya bangga dengan berbagai pertanyaan Anda yang tampaknya sangat peduli terhadap kondisi umat Islam secara internal, semoga tulisan berikut ini akan dapat menjadi bahan perenungan kita semua agar “perselisihan pendapat” di kalangan umat ini tidak berdampak pada “pemecahbelahan umat”.
Semua umat Islam sependapat, bahwa manusia diciptakan Allah adalah untuk beribadat kepada-Nya, sehingga segala kiprah kita termasuk shalat, kerja, makan, tidur, bahkan diam kita masuk dalam koridor ibadah.

Umat Islam dalam hal ini pola fikirnya terbagai menjadi tiga. Pertama, memiliki pola fikir, tidak ada perbedaan ibadah itu, semuanya harus disesuaian dengan tuntunan Nabi. Kedua, membedakan mana yang mahdhah dan mana yang ghairu mahdhah. Ketiga, membedakan mana yang masuk wilayah ta’abbudi dan mana yang masuk wilayah kultur. Menurut saya, (mudah mudahan tidak salah), Anda ada di kelompok kedua, sehingga membedakan ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah.

Bagi teman-teman yang masuk kategori pola fikir pertama, maka saya tidak dapat menyalahkan jika semua ibadah (dalam pandangannya, seperti mauludan dan sebagainya) dinilai “bid’ah”, karena memang orang yang memiliki pola fikir ini, semua ibadah harus ada tuntunannya. Jika tidak ada maka dinilai bid’ah, semua bid’ah adalah sesat, amalannya pasti tertolak, bahkan tempatnya di neraka. 

Bagi kelompok kedua, mereka akan membedakan terlebih dahulu, apakah ibadah itu mahdhah atau ghairu mahdhah? Yang dimaksud “mahdhah” jika cara pelaksanaaannya sudah ditetapkan oleh Nabi saw., seperti shalat dan lainnya, adapun ibadah “ghairu mahdhah”, jika tata cara pelaksanaannya tidak ada penetapan dari Nabi saw., seperti menuntut ilmu, berbisnis dan sebagainya. Maka mereka memperbolehkannya selagi tidak bertentangan dengan rambu-rambu agama. Pelaksanaannya dapat direkayasa, dimodifikasi, tidak harus persis seperti tuntunan Nabi saw. Maka dalam menuntut itu jika zaman Nabi dahulu tidak memakai laptop, sekarang teknologi itu digunakannya.

Bagi kelompok ketiga, mereka menilai “mauludan dan lainnya” itu bukan taabudi, tetapi “kultur”, maka mereka tidak memerlukan adanya tuntunan dari Nabi saw. Yang penting kultur itu harus dikemas sedemikian rupa sehingga tidak berseberangan dengan syari’at Islam. Maka kasus “mauludan” yang diisi dengan membaca sejarah kelahiran Nabi jika isinya benar merupakan amalan yang luar biasa, apalagi dijadikan media untuk dakwah dengan diberikan mauidhah hasanah atau menyupas doktrin-dontrin Nabi, sehingga mengingatkan kita agar lebih mudah meneladani beliau, maka ia yakin perilakunya akan mendapatkan pahala, namun jika isinya ada teologi “ruh Nabi” hadir ke majelis kita sehingga harus dihormati dan sebagainya, maka kasus seperti inilah yang harus diwaspadai.

Berangkat dari paparan di atas, jika Anda masuk pola fikir pertama, silahkan Anda menila amalan itu bid’ah, jangan coba-coba Anda ikut-ikutan, karena amalan Anda pasti tertolak, dan dampaknya Anda masuk neraka. Begitulah dampak hukum itu untuk Anda sendiri, bukan untuk memfonis orang lain. Kalau perlu doakan orang yang tidak sepaham dengan Anda, semoga mereka dibimbing Allah, kasihan mereka belum mengerti, jika mampu ajaklah diskusi dengan cara yang bijak sehingga mereka tobat dan kembali kepada kebenaran versi Anda.

Jika pola pikir Anda seperti kelompok kedua, berdoalah semoga amalan ini jika benar mudah-mudahan mendapatkan dua pahala, jika masih keliru (salah) mendapatkan satu pahala. Sadarilah atas keterbatasan kemampuan ijtihad Anda. Karena menurut keyakinan Anda, walaupun amalan tersebut masuk kategori ibadah, namun “tata caranya” tidak harus seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.

Jika pola pikir Anda seperti kelompok ketiga, maka Anda bebas menjalankannya, karena Anda tidak dituntut harus memiliki dalil atau tuntunan dari Nabi, asalkan kultur yang Anda maksudkan tidak bertentangan dengan rambu-rambu syari’at Islam. Saya mempunyai beberapa contoh, bagaimana Nabi saw. sangat menghormati kultur. Di antaranya, ketika Nabi saw. dakwah menggunakan tulisan (surat), secara internal memang tidak dibutuhkan “stempel”, namun karena kultur penguasa Romawi surat yang tidak menggunakan stempel dianggap tidak formal, maka Nabi saw. minta dibuatkan stempel, dan surat yang akan dikirim kepada penguasa Romawi beliau stempel terlebih dahulu. Begitulah Nabi memberikan keteladan kepada kita untuk menghormati kultur, walaupun dari perilaku Majusi, apalagi kultur yang dihasilkan oleh internal muslim.

Maka kasus “mauludan dan sejenisnya”, apakah termasuk ibadah yang harus cocok dengan tuntunan Nabi, atau boleh direkayasa, atau sekedar kultur, jawabannya ada pada setiap kita. Dampak hukumnya bukan untuk memvonis orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri, wallahu a’lam. Semoga umat makin dewasa, tidak cepat menyalahkan temannya, melainkan saling mendoakan agar tidak terjerumus dalam kesalahan yang sebenarnya, bukan yang sesuai dengan pola fikirnya sendiri. Karena sikap seperti ini mencerminkan kesombongan intelaktual, padahal bimbingan Allah, boleh jadi orang yang kita anggap jelek, justru mereka lebih baik dari orang yang mengejeknya.

Saya yakin semua permasalahan yang Anda paparkan bukan masalah ushul, melainkan masalah furu’, yang mudah-mudahan jika salah, hanya berdampak tertolaknya amalan, tidak sampai pada terjerumusnya ke dalam neraka. Apalagi dalam doa ifititah yang Anda sampaikan, memang cukup banyak yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., maka setiap kita babas memilihnya yang sesuai dengan kemampuan masing-masing.

(Dijawab oleh Dr. Zainuddin MZ, Pengajar Tafsir Hadits UIN Sunan Ampel & Dewan Syariah YDSF Surabaya) 

 

Baca juga:

Menghidupkan Masjid dan Mushola

MEMAKNAI JIHAD DALAM HIDUP

Contoh Istiqomah dalam Beribadah | YDSF

Konsultasi Agama Online

Pintu Dosa di Era Digital | YDSF

Dampak Maksiat dalam Kehidupan | YDSF

 

Tags:

Share:


Baca Juga

Berbagi Infaq & Sedekah lebih mudah dengan SCAN QRIS Menggunakan Aplikasi berikut: