Banyak orang yang mampu memberi, namun tak semua mampu memiliki keikhlasan.
Karena rasa ikhlas itu datangnya dari hati, dan Allah pasti melihat siapapun
yang memiliki rasa ikhlas.
Uwais al Qarni, seorang tabi’in terbaik yang sangat rindu ingin bertemu Rasulullah
saw. Ketika turun perintah Haji pada tahun 10 Hijriah, kerinduan Uwais tidak terbendung
lagi, ia sangat ingin menunaikan ibadah Haji bersama Rasulullah saw. Namun Uwais
yang hidup bersama ibunya yang telah tua dan sakit-sakitan, bimbang untuk
membawa ibunya serta menunaikan ibadah Haji sekaligus bertemu dengan Rasulullah
saw., karena jauhnya perjalanan dari Yaman ke Mekkah.
Dengan berat hati Uwais al Qarni berkata lirih pada ibunya, “Ibuku yang
sangat kucintai. Ibu tentu tahu betapa rinduku untuk bertemu Rasulullah saw.
Ibu pun tahu telah turunnya kewajiban berhaji. Aku sangat ingin membawa Ibu
bersamaku menunaikan ibadah Haji dan bertemu Rasulullah saw., namun aku kawatir
akan kesehatan Ibu.”
Ibunya tersenyum, dan berkata, “Pergilah anakku dan sampaikan salamku
pada Rasulullah saw. Badanku yang telah renta dan sakit-sakitan ini tidak mampu
menempuh perjalanan jauh itu. Doakan ibu, anakku. Agar Allah Yang Maha Pengasih,
Maha Penyayang, Allah yang Maha Penjaga dan Maha Pemelihara. Mengirimkan seseorang
untuk menggantikanmu menjaga ibu, merawat ibu, selama engkau pergi”.
Uwais terdiam kehilangan kata-kata. Tak terasa air matanya mengalir. Uwais
dalam kebimbangan besar. Kerinduannya kepada Rasullah saw. begitu besar.
Ketaatannya kepada Allah untuk menunaikan ibadah Haji begitu besar, namun
kecintaannya pada ibunya juga merupakan perintah Allah. “Ya Allah, manakah yang
harus aku dahulukan perintahMu”, begitu doanya kepada Allah. Uwais meminta
sahabatnya menyampaikan kebimbangannya pada Rasulullah saw.
Mendengar kisah Uwais al Qarni, Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh Uwais
al Qarni adalah yang terbaik dari golongan tabi’in. Hajinya Uwais al Qarni
adalah menjaga dan berbakti pada ibunya”. Bukan hajinya yang dilihat Allah,
namun keikhlasan seseorang dalam memberikan yang terbaik yang dimilikinyalah
yang dinilai oleh Allah.
Baca juga: Kisah Keluarga Teladan dalam Al Quran | YDSF
Uwais al Qarni memang tidak ditakdirkan menunaikan ibadah haji bersama
Rasulullah saw., karena Haji tahun itu adalah haji pertama dan terakhir bagi
Rasulullah saw. Senin subuh itu, tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah.
Dengan dipapah oleh dua orang sepupunya, Ali bin Abi Thalib dan Fadal bin
Abbas, Rasulullah saw. pergi ke Masjid dalam keadaan sakit. Abu Bakar yang
mengimami shalat Subuh.
Ketika ia merasa dan mendengar datangnya Rasulullah saw. di belakangnya, ia
pun mundur untuk memberikan tempat imam kepada beliau dan menggantikannya
menjadi imam shalat. Kemudian Rasul saw memberikan isyarat supaya ia tetap di
tempatnya dan terus mengimami shalat. Rasul sendiri duduk di sebelah kanannya
dan beliau shalat dengan duduk.
Setelah selesai mengerjakan shalat Subuh, maka Rasulullah saw. dengan air
mata yang berlinang, menghadap kepada jamaah kaum Muslimin, dan sejenak beliau
memperhatikan mereka. Beliau berpesan dan berwasiat. Pesan dan wasiat beliau
ini adalah merupakan pesan dan wasiat terakhir beliau. Dengan suara yang sangat
keras sehingga kedengaran dari luar masjid, beliau bersabda:
“Hai segenap manusia! Api neraka sudah dinyalakan, fitnah-fitnah telah
muncul seperti munculnya malam yang gelap gulita. Demi Allah! Sesungguhnya kamu
tidak berpedoman dari diriku tentang sesuatu (kecuali berdasarkan Al Quran). Sesungguhnya
aku tidak pernah menghalalkan sesuatu, melainkan apa yang telah dihalalkan oleh
Al Quran dan aku tidak pula mengharamkan sesuatu, melainkan apa yang telah
diharamkan oleh Al Quran.”
Baca juga: Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur | YDSF
Inilah wasiat terakhir Rasulullah saw. yang disampaikan di masjid pagi itu.
Sepulang dari masjid, Rasulullah saw. merasa lemah dan lemas. Di pangkuan
Aisyah r.a., Rasulullah saw. wafat sewaktu matahari sedang mengarah naik ke
cakrawala dengan sinarnya yang terang benderang, Senin, 12 Rabiul Awal tahun 11
H, bertepatan dengan 8 Juni 632 M.
Abu Bakar r.a. mengingatkan kaum muslimin untuk tetap ikhlas akan segala
ketetapan Allah, ikhlas dengan wafatnya Rasulullah saw. dan berkata:
“Wahai segenap manusia! Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya
Muhammad telah mati, dan barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya
Allah hidup, tidak akan mati selama-lamanya.”
“Ya Allah kami miskin harta maka kayakan kami. Kami miskin iman maka
kuatkan iman kami. Kami banyak salah maka maafkan kami. Kami banyak dosa maka
ampuni kami. Kami banyak menzalimi diri kami sendiri maka sayangilah kami.
Jangan Engkau tolak puasa kami, jangan Engkau tolak zakat kami, jangan Engkau
tolak sholat kami, jangan Engkau tolak amalan kami. Terimalah sholat kami,
rukuk kami, sujud kami, puasa kami, zakat kami dan haji kami. Terimalah seberapa
kecilpun amalan kami ya Allah dan lipat gandakan nilainya di sisi-Mu.”
Sumber: Majalah Al Falah Edisi 315 Bulan Juni 2014
Featured Image by unsplash
Sedekah dari rumah:
Artikel Terkait:
Kehidupan Ali bin Abi Thalib bersama Rasulullah | YDSF
BELAJAR DERMAWAN DARI KISAH IMAM SYAFI’I | YDSF
KH HASYIM ASY’ARI, DERMAWAN PADA PARA SANTRI | YDSF
Belajar Sabar dari Kisah Nabi Ayyub as. | YDSF
Mengeraskan Bacaan Al-Qur’an Atau Mengaji Saat Orang Lain Shalat | YDSF
Melangitkan Doa untuk Menjemput Harapan | YDSF