Dalam Islam,
sakit menjadi salah satu sarana bagi Allah Swt. untuk menggugurkan dosa-dosa
umat-Nya. Namun, sakit dapat menjadi sebuah ujian atau musibah. Tergantung
bagaimana kita menyikapinya. Memang tidaklah mudah menghadapi sakit dengan
penuh kelapangan dada, tetapi saat sakit hendaknya menjadi momen paling syahdu
untuk selalu mengingat Allah Swt.
Pandemi Covid-19
masih saja menyebar di sekitar kita. Banyak kerabat dan rekan kita yang
terpapar. Ada yang dengan izin Allah kemudian bisa pulih seperti sedia kala.
Ada pula yang wafat setelah berjuang dalam masa perawatan.
Banyak anjuran,
imbauan, bahkan perintah tegas dari pemerintah agar warga masyarakat tetap
waspada. Selalu berkomitmen kuat untuk mematuhi protokol kesehatan saat
beraktivitas di luar rumah. Baik saat bekerja, belajar atau lainnya.
Semua itu
merupakan ikhtiar manusia untuk melindungi diri. Sebagaimana perintah Allah,
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Baqarah
195).
Sakit merupakan
salah satu ujian-ujian Allah. Setiap anak Adam bisa merasakan sakit. Bagi orang
beriman, sejatinya sakit merupakan kabar gembira.
"Sungguh
menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya baik baginya dan kebaikan
itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila ia mendapat kesenangan,
ia bersyukur dan itu baik untuknya. Dan apabila mendapat musibah, ia bersabar
dan itu juga untuknya." (HR. Muslim).
Bahkan ketika
sakit pun, Allah memberinya ampunan. “Tiada seorang mukmin yang ditimpa lelah
atau penyakit, atau risau pikiran atau sedih hati, sampai pun jika terkena
duri, melainkan semua penderitaan itu akan dijadikan penebus dosanya oleh
Allah.” (HR Bukhari-Muslim).
Namun dalam
keadaan sakit, kondisi sabar seorang mukmin harus dalam koridor adab-adab
islami. Agar kondisi sakitnya berbuah ampunan Allah serta mendapat rahmat
Allah.
Baca juga: Jamak Shalat Karena Sakit | YDSF
1.
Hanya Allah semata yang menyembuhkan
Kita meneladani sikap Nabi Ibrahim, “Dan apabila aku sakit. Dialah (Allah)
yang menyembuhkanku.” (As Syu’araa 80).
Hanya Allah yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit, baik penyakit
hati maupun penyakit jasmani. Semua penyakit bisa sembuh hanya atas izin-Nya.
Apapun obat, terapi ataupun dokter yang merawat tetaplah hanya sebab. Namun,
kuasa kesembuhan ada pada Allah Swt saja.
2.
Dianjurkan berobat asal tidak dengan yang haram
Rasul saw bepesan, “Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan obat dan
penyakit. Allah jugalah yang menjadikan obat setiap penyakit. Maka janganlah
kalian berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud)
Lalu bagaimana kita tahu yang mana yang halal dan yang mana yang haram? Tentunya berkonsultasi dengan alim ulama. So, tidak asal berobat.
3.
Menahan diri dari mengeluh atau mencela
Tabiat dasar manusia adalah suka mengeluh. “Sesungguhnya manusia diciptakan
bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh
kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS. Al-Ma’arij 19-21)
“Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap
mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai
apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al-Ma’arij 19-25)
Mengeluh hanya akan menurunkan semangat diri. Dampak berikutnya akan menyusahkan
orang-orang yang merawat kita. Keluarga tentu bertumpuk rasa sedihnya melihat
si sakit kerap berkeluh kesah.
Dan yang paling fatal adalah jauhnya rahmat Allah. Karena orang mengeluh
itu berarti berprasangka buruk kepada Allah. “Aku berdasarkan prasangka
hamba-Ku.” demikian hadits Qudsi.
4.
Memperbanyak zikir
Zikir itu sumber ketenangan. Dan ketenangan itu sumber kesembuhan. Nasihat
Ibnu Sina, Bapak Kedokteran Moderen (980-1037 M) kembali aktual di jagad medsos,
“Kegelisahan adalah separuh dari penyakit. Ketenangan adalah separuh dari
kesembuhan. Dan kesabaran adalah awal dari Anda pulih kembali.”
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir
(mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’du 28)
5.
Meski sangat parah, jangan pernah meminta kematian
Suatu saat Abbas bin Abdul Muthalib, paman nabi sedang sakit. Sakitnya yang
cukup parah membuat Abbas berkata, kematian lebih baik daripada sakit.
Lalu Rasulullah memberinya nasihat, “Wahai pamanku! Janganlah engkau
mengharapkan kematian. Karena sesungguhnya jika engkau adalah orang yang
memiliki banyak kebaikan dan (waktu kematianmu) diakhirkan, maka kebaikanmu
akan bertambah dan itu lebih baik bagimu. Begitu juga sebaliknya, jika engkau
orang yang banyak keburukannya dan (waktu kematianmu) diakhirkan, maka engkau
bisa bertobat darinya maka ini juga baik bagimu. Maka janganlah sekali-kali
engkau mengharapkan kematian.” (HR. Ahmad)
Sumber Majalah
Al Falah Edisi Agustus 2021
Raih Jariyah dengan Wakaf:
Artikel Terkait:
Cara Mencari Berkah (Tabarruk) Allah Sesuai Syariat Islam | YDSF
KONSULTASI ZAKAT DARI TABUNGAN GAJI DI BANK | YDSF
5 Hajat Asasi Manusia Menurut Islam | YDSF
ZAKAT PENGHASILAN SUAMI-ISTRI BEKERJA | YDSF
Perbedaan Shalat Tahajud dan Shalat Lail | YDSF
HUKUM LELANG DAN JUAL BELI WAKAF DALAM ISLAM | YDSF
Wakaf Terbaik untuk Orang Tua Tercinta | YDSF