Bukan hanya
mengajarkan untuk menjaga adab kepada sesama makhluk, bahkan dalam Islam juga
diajarkan bagaimana kita dapat memiliki adab yang baik terhadap diri sendiri. Diajarkan
bagaimana tahapan untuk meraih bentuk menyayangi diri sendiri tanpa berlebihan
dan tetap berada pada koridor hal-hal baik. Mengingat, saat ini banyak yang
berdalih dengan mengutamakan kesehatan mental dengan menyayangi diri sendiri,
tetapi lupa bahwa apa yang dilakukannya justru sebenarnya memiliki dampak
terhadap sekitar.
Dewasa ini, kita
sering mendengar istilah self love, self care, hingga self reward.
Segala istilah yang muncul itu sebenarnya sebuah bentuk kepeduliaan masyarakat
kekinian terhadap kesehatan mental pribadi masing-masing. Ada banyak cara yang
dilakukan. Namun, tak jarang justru banyak hal sia-sia dalam rangkaian kegiatan
itu. Seperti, usai menerima gaji lantas bisa berfoya-foya membeli atau
melakukan hal yang disuka, tanpa memikirkan untuk berbagi atau menunaikan
kewajiban lain yang ada dalam hartanya.
Dalam ajaran
agama rahmatan lil ‘alamin ini, Rasulullah saw. telah mengajarkan bagaimana
sebenarnya adab untuk diri sendiri. Agar kita dapat selalu merasa nyaman dan
tentram dalam menghadapi setiap hal di kehidupan ini.
Sebagai seorang
muslim yang beriman, maka kita akan mempercayai bahwa ada dua kehidupan yang
kita jalani. Yakni, kehidupan dunia dan akhirat. Untuk menjadi hamba yang
sukses menempuh keduanya, tentu kita perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin.
Menempa diri agar menjadi hamba pilihan-Nya. Sehingga, bentuk self love
atau self reward yang kita lakukan tidak hanya berorientasi pada kegiatan
duniawi saja.
Allah Swt.
berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan
nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya
menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr [103]: 1-3)
Selain itu,
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali
orang-orang yang enggan untuk memasukinya. Ada seseorang yang bertanya,
siapakah orang yang enggan tersebut wahai Rasulullah? Beliau bersabda,
“Barangsiapa mentaatiku akan masuk surga, barangsiapa tidak taat kepadaku
sungguh dia orang yang enggan masuk surga.” (H.R Bukhari)
Dari dua dalil
tersebut, maka kita dapat menyimpulkan betapa pentingnya untuk selalu berbuat
shalilh dan mengerjakan amalan-amalan baik sesuai ajaran syariat. Oleh
karenanya, menjadi seorang muslim berarti harus siap untuk mendidik diri,
menyucikan, dan membersihkannya. Menghiasi jiwa raga dengan adab terbaik. Lantas,
langkah apa saja yang dapat dilakukan sebagai bentuk adab baik kepada diri
sendiri?
Baca juga: KISAH UMAT TERDAHULU YANG DIUJI ALLAH | YDSF
4 Adab Terhadap Diri Sendiri
1.
Taubat
Taubat merupakan
langkah untuk membersihkan diri dari segenap dosa dan maksiat, menyesali, dan
bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Seseorang yang bertaubat, maka
sudah harus siap untuk menjadi ‘orang baru’, sehingga tercapailah taubat semurni-murninya
atau dengan sungguh-sungguh (taubatan nasuha). Sebagaimana Allah Swt.
berfirman dalam surah At-Tahrim [66] ayat 8,
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, ...”
Terdapat beberapa
langkah, seseorang benar-benar dikatakan telah bertaubat. Bila dosa yang
diperbuatnya merupakan hubungan dengan Allah Swt., maka langkah yang dilakukan
adalah meninggalkan perbuatan dosa; menyesal; dan tidak mengulanginya kembali.
Bila dosa yang
dilakukan menimbulkan kerugian terhadap orang lain, misal mengambil yang bukan
haknya. Maka, langkah yang ditempuh sama, tetapi ditambahkan mengganti kerugian
yang dialami orang lain.
Sedangkan bila
dosa yang dilakukan berupa dakwaan fitnah, maka harus disertai dengan permintaan
maaf kepada yang didakwa. Dan, bila dosa yang dilakukan berupa ghibah, maka ada
dua pendapat untuk tindakan penyertanya jika orang yang dibicarakan tidak
mengetahuinya. Pertama, meminta maaf kepada yang dibicarakan. Kedua, demi
menjaga kerukunan bersama, maka tidak perlu disampaikan karena dikhawatirkan
akan menimbulkan masalah baru.
2.
Muraqabah
Secara bahasa, muraqabah
berarti pengawasan, pemerhatian. Maka, tindakan muraqabah merupakan perasaan
selalu merasa diawasi oleh Allah Swt. Dalam setiap kehidupannya, ia yakin bahwa
Allah selalu melihatnya, mengetahu rahasia-rahasianya, memperhatikan amal-amalnya,
serta menegakkan putusan terhadapnya dan terhadap setiap jiwa dengan apa yang
telah dilakukan.
Dalam Al-Qur’an,
kata ini disebutkan pada surat Al- Ahzab [33] ayat ke 52,
وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ رَّقِيْبًا
“Dan adalah
Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.”
Ketika seseorang
sudah merasa selalu diawasi oleh Allah Swt., maka ia akan masuk pada tahap ‘menyerahkan
diri’. Maksudnya, ia dengan ikhlas merasa damai berada dalam pengawasan Allah.
Sehingga, kemudian setiap langkah yang diambil akan diusahakan dengan sungguh-sungguh,
selalu berada dalam koridor syariat.
Baca juga: KISAH MUSA DALAM SURAT AL KAHFI - PERJUANGAN DAN ADAB MENCARI ILMU | YDSF
3.
Muhasabah
Untuk kata yang
satu ini, mungkin kita sudah sering mendengarnya. Ya, muhasabah diartikan
dengan instropeksi diri. Melalui tahapan ini, kita dapat memberpabiki, melatih,
dan menyucikan diri. Ada banyak dalil tentang ajaran untuk bermuhasabah. Salah
satunya, firman Allah Swt. dalam surah Al-Hasyr [59] ayat 18,
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),
dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu
kerjakan.”
Ibnu Katsir
menafsirkan kalimat ‘memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat)’ yaitu menghitung amalan yang selama ini diperbuat. Karena, kelak
akan diminta pertanggungjawaban. Serta, bekali diri kita dengan amalan-amalan
shalih untuk hari akhir.
4.
Mujahadah an-Nafs
Mujahadah memiliki arti bersungguh-sungguh, sedangkan
an-nafs adalah hawa nafsu/jiwa. Sehingga arti dari mujahadah an-nafs
adalah bersungguh-sungguh dalam mengendalikan hawa nafsu. Maksudnya, siap untuk
teguh dalam berperang melawan hawa nafsu.
Dalam surah Yusuf
[12] ayat 53, diabadikan pengakuan istri dari al-Aziz, wanita yang menggoda Nabi
Yusuf a.s., sebagai berikut, “Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan,
kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”
Hawa nafsu itu wujudnya
beragam. Bukan hanya nafsu kepada lawan jenis saja. Beberapa hal yang mengarah
ke keburukan juga termasuk dalam hawa nafsu, seperti makan berlebihan, sifat
malas, rasa amarah, suka mengeluh, dan lain-lain.
Ada banyak kisah dari
para sahabat Rasulullah saw. tentang perjuangan mereka melawan hawa nafsunya. Dan,
bagaimana tindakan yang mereka ambil untuk mengatasinya. Contohnya, kisah Umar
bin Khattab saat terlewatkan shalat ashar berjamaah. Beliau langsung
mengeluarkan sedekah berupa sebidang tanah senilai dua ratus ribu dirham.
Itulah penjabaran
tentang bagaimana Islam membentuk rasa cinta terhadap diri sendiri dengan
menjaga adab pula kepada diri kita. Adab-adab ini memang tidak bisa langsung diterapkan
secara langsung dan sempurna kesemuanya. Melainkan, ada proses untuk menjadi
yang lebih baik. Semoga kita dimudahkan dalam mengambil langkah-langkah yang
benar sesuai syariat. Aamin.
Artikel Terkait:
Doa Minta Rezeki Halal dan Berlimpah Sesuai Sunnah | YDSF
HUTANG, BISAKAH MENJADI FAKTOR PENGURANG ZAKAT? | YDSF
Waktu Terbaik Terkabulnya Doa | YDSF
BOLEHKAH UMRAH TAPI BELUM ZAKAT MAAL? | YDSF
Ragam Penyaluran Program YDSF Desember 2022
WAKTU MEMBAYAR ZAKAT MAAL | YDSF
Sedekah di YDSF