Sayyidina Ali Bin Abi Thalib menaruh biji-biji kurma yang dia makan di piring yang ada di depan Rasulullah dalam sebuah jamuan makan. Kemudian, Ali RA berkata: “Wah, Rasullullah paling banyak makan, biji kurmanya banyak sekali. Antum lapar ya?”
Rasul tidak tersinggung, Beliau tahu sahabatnya sedang bercanda. Maka dengan cerdas Rasulullah membalas keisengan sahabatnya tersebut. “Ali kamulah yang lapar. Buktinya biji-biji kurma itu ikut kamu makan. Lihat, tidak ada satu pun biji tersisa!” (HR. Bukhari). Candaan itu Ali ini membuat hubungan sahabat plus mertua dan menantu ini semakin akrab penuh cinta.
Lain cerita. Seorang nenek yang meminta didoakan bisa masuk surga. Dengan nada lirih Rasul mengatakan bahwa tidak ada wanita tua di surga. Sontak saja, jawaban Rasulullah membuat nenek ini bersedih dan menangis sedih. Setelah sang nenek pergi, Rasul meminta sahabat menyampaikan kepadanya bahwa dia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua, namun dikembalikan menjadi muda lagi. Ayat yang beliau bacakan ‘…lalu kami jadika mereka gadis perawan’ (al-Waqi`ah: 35-37)
Banyak kisah bagaimana Rasul bercanda. Namun ada beberapa etika bagaimana beliau bercanda.
Pertama, tidak ada unsur kebohongan dan dusta yang beliau buat. Hal ini dijelaskan dalam sabdanya, ‘Aku bercanda namun berkata benar.’ (HR. Thabrani).
Kedua, beliau tidak menggunakan narasi yang dilarang (al-Isr`a:53).
Ketiga, beliau tidak sampai tertawa terpingkal-pingkal, hanya tersenyum dan tertawa biasa. Beliau mengingatkan, tertawa terpingkal bisa membuat hati keras. (HR. Tirmidzy).
Keempat, tidak ada narasi yang melecehkan agama (at-Taubah: 65).
Kelima, candaan itu tidak membuat yang lain mengalami ketakutan atau depresi, bahkan cenderung menghibur. (HR. Abu Daud).
Kelima, adab dan etika dikuatkan dengan sebuah cerita yang tertulis dalam lubabu -n-nuqul Imam as-Suyuthi. Para sahabat Nabi pernah bergurau, bercanda, dan tertawa terbahak-bahak sampai taraf “terlalu” sehingga menyebabkan kualitas dzikir dan kekhuyu`an mereka menurun.
Rasulullah bersabda: “Celakalah siapapun yang berbicara, lalu berdusta agar banyak orang tertawa. Celakalah baginya, dan celakalah baginya”. (HR. Ahmad).
Tertawa dalam bercanda pun memiliki etika. Dicontohkan Rasul, beliau tertawa simpul dengan gigi taring indahnya yang terlihat. Tertawa seperti ini menurut para pakar kesehatan adalah tertawa yang menyehatkan fisik dan psikis. Sebaliknya, tertawa yang disindir Alquran dan hadits mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan dan kejiwaan. Inilah salah satu hikmah dan rahasianya.
Para sahabat selalu takut masuk ke dalam sabda Nabi: “Tanda-tanda keislaman seseorang adalah meninggalkan hal yan tidak berguna.” (HR. Timidzy). Jangan sampai, bergurau masuk ke dalam hal yang tidak berguna. Nabi selalu memperingatkan para sahabat untuk memanfaatkan waktu sebaik-baikanya, bukan hanya dengan bercanda saja. ***
Sumber Majalah AL Falah Edisi September 2019
Editor: Nara
Baca juga:
BERLINDUNG DARI NERAKA DENGAN TAUBAT
Sekilas Mengenal Gangguan Setan