Adab Bercanda dalam Islam | YDSF

Adab Bercanda dalam Islam | YDSF

2 Maret 2020

Bercanda dan bergurau lazim dilakukan sehari-hari. Dengan canda suasana menjadi cair, akrab dan gayeng. Namun, gurauan yang keterlaluan, sering membuat orang lepas kontrol. Berujung pada kata-kata atau tindakan tidak pantas. Nah, bagaiama model canda Rasulullah dan sahabatnya?

 

Bercanda tidak dilarang. Rasulullah saw sering bercanda dengan para sahabat, istri, anak-anak dan orang sekitarnya. Beliau pernah bercanda dengan Sayyidina Ali Bin Abi Thalib. Dalam suatu jamuan makanan, Ali menaruh biji kurma yang dia makan di piring depan Rasulullah.

Ali RA lalu berkata: “Wah, Rasullullah paling banyak makan, biji kurmanya banyak sekali. Antum lapar ya?”

Rasul dengan cerdas membalas keisengan ini . “Ali kamulah yang lapar.  Buktinya biji-biji kurma itu ikut kamu makan. Lihat, tidak ada satu pun biji tersisa!” (HR. Bukhari).

Keisengan Ali ini membuat hubungan mertua dan menantu ini semakin akrab penuh cinta.

Lain cerita tentang seorang nenek yang meminta didoakan bisa masuk surga. Dengan nada lirih Rasul mengatakan bahwa tidak ada wanita tua di surga. Sontak saja, jawaban Rasulullah membuat nenek ini bersedih dan menangis sedih. Setelah sang nenek pergi, Rasul meminta sahabat menyampaikan kepadanya bahwa  dia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua, namun dikembalikan menjadi muda lagi. Ayat yang beliau bacakan ‘…lalu kami jadika mereka gadis perawan’ (al-Waqi`ah: 35-37)

 

Banyak kisah bagaimana Rasul bercanda. Namun ada beberapa etika bagaimana beliau bercanda. Pertama, tidak ada unsur kebohongan dan dusta yang beliau buat. Hal ini dijelaskan dalam sabdanya, ‘Aku bercanda namun berkata benar.’ (Hr. Thabrani).

Kedua, beliau tidak menggunakan narasi yang dilarang (al-Isr`a:53). Ketiga, beliau tidak sampai tertawa terpingkal-pingkal, hanya tersenyum dan tertawa biasa. Beliau mengingatkan, tertawa terpingkal bisa membuat hati keras. (HR. Tirmidzy).

Keempat, tidak ada narasi yang melecehkan agama (at-Taubah: 65).  Kelima, candaan itu tidak membuat yang lain mengalami ketakutan atau depresi, bahkan cenderung menghibur. (HR. Abu Daud).  

Kelima, adab dan etika dikuatkan dengan sebuah cerita yang tertulis dalam lubabu -n-nuqul Imam as-Suyuthi. Para sahabat Nabi pernah bergurau, bercanda, dan tertawa terbahak-bahak sampai taraf “terlalu” sehingga menyebabkan kualitas dzikir dan kekhuyu`an mereka menurun.

Model canda ala Rasulullah. Tujuannya bukan hanya ingin membuat orang tertawa, gurauannya tidak mendidik, menyinggung perasaan, bahkan merendahkan Agama dan keluar dari tuntunan. Misalnya, berpura-pura menjadi banci, rayuan-rayuan.

Rasulullah saw bersabda: “Celakalah siapaun yang berbicara, lalu berdusta agar banyak orang tertawa. Celakalah baginya, dan celakalah baginya”. (HR. Ahmad).

 

Tertawa dalam bercanda pun memiliki etika. Dicontohkan Rasul, beliau tertawa simpul dengan gigi taring indahnya yang terlihat. Tertawa seperti ini menurut para pakar kesehatan adalah tertawa yang menyehatkan fisik dan psikis. Sebaliknya, tertawa yang disindir al-Qur`an dan hadits mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan dan kejiwaan. Inilah salah satu hikmah dan rahasianya.

Para sahabat selalu takut masuk ke dalam sabda Nabi: “Tanda-tanda keislaman seseorang adalah meninggalkan hal yan tidak berguna.” (Hr. Timidzy).  Jangan sampai, bergurau masuk ke dalam hal yang tidak berguna. Nabi selalu memperingatkan para sahabat untuk memanfaatkan waktu sebaik-baikanya, bukan hanya dengan bercanda saja..

 

Sumber Majalah Al Falah Edisi September 2019

 

Baca juga:

12 Tips Menjadi Keluarga Sakinah

Belajar Membaca Alquran di Masa Rasulullah Saw | YSDF

Zakat Profesi atau Penghasilan | YDSF

Banyak Menghafal Alquran, Tubuh Jadi Semakin Sehat | YDSF

Tips Menghafal Al quran Otodidak | YDSF

13 Adab dalam Berdoa | YDSF

Tags:

Share:


Baca Juga

Sedekah di YDSF lebih mudah, melalui: